Jump to content

Talk:Tahir bin Jalaluddin

Page contents not supported in other languages.
From Wikipedia, the free encyclopedia

Help!

[edit]

I removed the following lengthy passage from the article, in the hopes that someone here can translate it/explain what it is:

Hidden text

Riwayat Hidup Syaikh Muhammad Thahir Jalal Al-Din

A. Sislsilah Keluarga dan Masa Kecil

1. Latar Keluarga dan Silsilah Dilihat dari latar belakang keluarga, Syaikh Muhammad Thahir Jalal Al-Din terlahir dari keturunan orang terpandang. Menurut Syaikh Thahir dalam catatan pribadinya, ia dilahirkan di Koto Tuo Balai Gurah Ampat Angkat dari ibunya, Gandam binti Tuanku Nan Rancak, cucu Tuanku Laras Tuo Ampat Angkat, cucu Tuanku Bagindo Khatib Tanjung Medan. Orang-orang dari garis keturunan ayahnya bercirikan para ulama terkenal. Dari garis keturunan ibunya berciri tokoh-tokoh adat. Dari kedua garis keturunan tersebut, pada zaman Belanda banyak pula yang menjadi pejabat. Syaikh Ahmad Khatib adalah saudara sepupunya, sebab ibunya kakak-beradik. Gandam Urai, ibu Muhammad Thahir yang tua dan Limbak Urai, ibu Ahmad Khatib yang muda. Kedua perempuan itu adalah anak Siti Zainab. Suami Gandam Urai adalah Syaikh Muhammad yang bergelar Tuanku Cangking. Suami Zainab bernama Tuanku Nan Rancak dan ibunya bernama Bilan yang menikah dengan Tuanku Bagindo Khatib, Pembantu Regent Agam. Syaikh Muhammad Tuanku Cangking adalah putra dari Syaikh Ahmad Jalal Al-Din yang gelar waktu kecil atau mudanya Faqih Shagir dan gelar waktu tuanya Tuanku Sami’. Ayah Faqih Shagir adalah ‘Alam Al-Din yang populer dengan sebutan Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo Ampat Angkat. Pihak sepupunya Ahmad Khatib, ayahnya bernama ‘Abdul Latif bergelar Khatib Nagari. Yang terakhir ini putra dari Tuanku ‘Abd Al-Rahman bekas Hoofjaksa di Padang. ‘Abd Al-Rahman adalah putra dari Tuanku Imam Abdullah yang ayahnya bernama Tuanku ’Abd Al-‘Aziz asal Arab. Tuanku Abd Al-Rahman, kakek Ahmad Khatib juga punya putra dengan isteri yang lain di Koto Gadang bernama Sutan Muhammad Salim menjadi Hoofjaksa pula di Pangkal Pinang Riau. Beliau inilah ayah Haji Agus Salim, tokoh nasional Indonesia. Muhammad Tuanku Cangking, ayah Syaikh Muhammad Thahir Jalal Al-Din adalah ulama yang sangat terkenal di Cangking, nagari yang bertetangga dengan Koto Tuo Ampat Angkat. Ia mencurahkan hampir seluruh umurnya untuk belajar dan mengajarkan tarekat Naqsyabandi. Pada masanya mengajar, di Minangkabau terjadi pertentangan hebat antara aliran tarekat Naqsyabandi dan aliran tarekat Syattari. Di tengah masyarakat muncul istilah “Agama Cangking dan Agama Ulakan”. Kelompok agama di Cangking dan sekitarnya mengamalkan tarekat Naqsyabandiyah yang mengutamakan amal ibadah. Mereka juga lebih banyak membahas masalah fiqh guna kepentingan amal ibadahnya. Untuk memulai puasa bulan Ramadhan, mereka mengutamakan hisab dengan memakai Ilmu Falak. Sementara kelompok agama Ulakan yang Syatari dinilai kurang mengutamakan ibadah. Bila memulai puasa Ramadhan, mereka tidak percaya kepada hisab atau Ilmu Falak. Mereka tetap melakukan ru’yat untuk melihat awal bulan. Dalam realitasnya kemudian, kelompok Ulakan ini selalu memulai puasa Ramadhan sehari setelah kelompok Cangking. Karena itu, di tengah masyarakat, kemudian, muncul istilah “Orang Puasa Dahulu” untuk kelompok Cangking dan “Orang Puasa Kemudian” untuk menggelari kelompok Ulakan. Sampai sekarang realitas seperti itu umumnya masih berlangsung. Tuanku Cangking dan isterinya Limbak Urai mempunyai anak ilma orang, dua laki-laki dan tiga perempuan. Selain Muhammad Thahir Jalal Al-Din yang paling kecil, kakaknya yang laki-laki adalah Muhammad Amin gelar Dt. Bagindo, dan kakaknya yang perempuan bernama Alimah, Maryam, dan ‘Aisyah. Akan halnya kakek Muhammad Thahir Jalal Al-Din bernama Ahmad Jalal Al-Din Faqih Shagir Tuanku Sami’ merupakan seorang ulama tarekat terkenal pula. Dia menjadi guru dari beberapa orang murid, termasuk anaknya sendiri Muhammad Tuanku Cangking. Dalam gerakan dan perang Paderi, tokoh ini mengikuti faham ayahnya, Tuanku Nan Tuo. Ia tidak mau melakukan perubahan secara radikal seperti ditawarkan Tuanku Nan Renceh, teman sepengajiannya. Tuanku Nan Renceh dianggap sebagai sosok dasar Padri. Menurut laporan Belanda yang didasarkan kepada kesaksian beberapa orang Minangkabau tahun 1830-an, dia bertubuh kecil, kurus bertabiat bringasan, dan memiliki mata yang “berapi-api luar biasa”. Renceh sebetulnya nama sejenis tumbuhan kecil yang selalu menempel pada dahan kayu lainnya. Buahnya sangat disukai oleh sejenis burung kecil yang cukup lincah dan sulit ditangkap. Burung kecil itu akhirnya disebut orang dengan Burung Renceh. Buah yang dimakan nantinya keluar lagi lewat kotoran burung tersebut dan menempel pula pada dahan kayu lainnya dan beberapa waktu kemudian tumbuh serta berbuah lagi. Umumnya pohon yang ditumbuhi Renceh itu adalah kopi, teh, jeruk, durian, rambutan, sehingga tumbuhan Renceh yang menempel pada pohon kopi atau teh dicari orang untuk diproses menjadi obat mujarab, terutama penyakit kencing manis. Menurut pendapat ayahnya, bila dalam suatu kampung telah ada seorang mukmin, maka kampung itu tidak boleh diperangi. Dan kalau itu yang dilakukan, maka hal itu hanya akan menguntungkan pihak “gumpani” ( kompeni) Belanda. Tuanku Sami’ juga berpendirian seperti ini. Karena itu, ia nanti harus bertentangan dengan sahabatnya Tuanku Nan Renceh yang telah bergabung dengan para ulama lain, yang dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan di bawah perlindungan Imam Perang Tuanku Mansiangan, anak Tuanku Mansiangan Nan Tuo. Imam Perang yang telah dipanggil pula sebagai Tuanku Nan Tuo itu sebaya dengan Tuanku Nan Tuo Koto Tuo, ayah Jalal Al-Din Tuanku Sami’. Mereka berdua sama-sama menjadi murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo. Karena Tunku Nan Renceh tidak mendapat dukungan dari Jalal Al-Din dan ayahnya Tuanku Nan Tuo Koto Tuo dalam menumpas bid’ah dan penyimpangan dalam agama secara kekerasan, maka dia berpindah mencari dukungan kepada Tuanku Mansiangan, nagari Koto Laweh yang berdekatan dengan Pandai Sikek dalam daerah luhak Tanah Datar. Nama Mansiangan kadang-kadang juga disebut dengan Pamansiangan. Tuanku Pamansiangan yang dilahirkan di dusun Balai Gadang nagari Koto Laweh adalah murid dan anak Tuanku Kapeh-kapeh Paninjauan. Nama Kapeh-kapeh menurut riwayat mulut ke mulut yang berkembang di nagari Paninjauan disebabkan tangan Tuanku tersebut lembut serasa kapas sewaktu murid-muridnya bersalaman dengannya. Nagari Koto Laweh dengan jarak sekitar 15 km dari kota Padangpanjang adalah satu dari Enam Koto. Lima Koto atau nagari lainnya adalah Pandai Sikat, Aie Angek, Payalaian, Singgalang, dan Kotobaru. Syaikh Jalal Al-Din Tuanku Sami’ Syaikh Jalal Al-Din Faqih Shagir adalah orang pertama yang menuliskan hikayatnya, yang diberinya judul Hikayat Jalal Al-Din. Selain menceritakan perannya bersama ayahnya dalam membangun masyarakat beragama yang taat, dalam buku itu ia menyebut peristiwa dan tempat penting dalam peta intelektual pada penghujung abad ke-18 dan awal abad ke 19 tersebut. Buku Hikayat Jalal Al-Din pernah diterbitkan oleh Meursinge, dan diterjemahkan oleh Dr. W. R. van Hoevell tahun 1849, dan kemudian dicetak dalam resensi yang lebih panjang oleh Hollander. Dari Syaikh Jalal Al-Din ini orang tahu bahwa ilmu tarekat yang dibawa Syaikh Burhanuddin Ulakan kemudian menyebar ke Paninjauan. Dari sana kemudian turun ke Tuanku Pamansiangan Nan Tuo. Tuanku ini juga memakai tertib dan pola seperti di Ulakan. Jalal Al-Din juga menginformasikan bahwa di Kamang ada pula seorang Tuanku yang ahli dalam bidang Ilmu Alat. Di Lambah Nagari Lambah dan Puar Nagari Panampuang (bukan Sungai Puar) dalam daerah Ampat Angkat masing-masing juga ada Tuanku yang keramat. Keduanya adalah murid yang memperoleh ilmu dan limpahan keramat dari Tuanku Paninjauan. Jadi seperguruan dengan Tuanku Pamansiangan Nan Tuo. Sementara itu ada pula seorang Tuanku di Tampang Rao Pasaman yang pulang dari Makkah dan Madinah yang sangat ahli dalam bidang Ilmu Mantiq dan Ma’ani. Dia mempunyai murid bernama Tuanku Kaciak yang berasal dari Koto Gadang Agam. Keahlian tentang Matiq dan Ma’ani itu kemudian berkembang di Koto Gadang. Di nagari Sumanik ada pula seorang Tuanku yang baru pulang belajar dari Aceh. Tuanku Sumanik ini sangat ahli dalam bidang Hadis, Tafsir dan Ilmu Faraid dan namanya sangat termasyhur di Luhak Nan Tiga (Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Koto). Sementara di Talang Solok ada seorang Tuanku yang terkenal ahli dalam bidang Ilmu Sharf. Di Selayo, daerah Solok juga ada Tuanku yang ahli dalam bidang Nahu. Jelas sekali bahwa di dalam abad ke-18 telah banyak ulama di Minangkabau, yang masing-masing mempunyai keahlian sangat menonjol. Jalal Al-Din Faqih Shagir, kakek Muhammad Thahir mengaku bertemu dengan Tuanku Pamansiangan Nan Tuo, Tuanku Kaciak Koto Gadang, dan Tuanku Sumanik dalam usia masih kecil. Ia juga mengatakan bahwa ia menimba ilmu dari Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo. Menurut Jalal Al-Din, ayahnya, Tuanku Nan Tuo juga menuntut ilmu dari Tuanku Kamang, Tuanku Sumanik, Tuanku Kaciak Koto Gadang, dan kepada Tuanku Pamansiangan Nan Tuo, bahkan kepada Tuanku Paninjauan, yang guru dari gurunya, Tuanku Pamansiangan Nan Tuo. Karena itu, Tuanku Nan Tuo Koto Tuo menjadi seorang ulama yang sangat ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan demikian ulama ini menjadi sasaran dan tujuan utama dalam menuntut ilmu oleh putra Minangkabau, bukan hanya dari Luhak Nan Tiga, tetapi juga dari daerah Pasaman, teluk dan rantau, bahkan juga dari daerah Aceh. Pada masa mudanya, Faqih Shagir melukiskan daerah Agam dan sekitarnya dipenuhi perbuatan menyimpang dari agama (maksiat). Banyak orang yang melakukan judi, membunuh, merampas, menyabung ayam, meminum tuak, memakan sekalian yang haram karena tidak bisa membedakannya dengan halal, bahkan praktek menjual orang, termasuk ibu dan saudaranya sekalipun. Banyak terjadi perkelahian, kerusuhan, dan perang-perangan. Sangat payah ayahnya, Tuanku Nan Tuo bersama beberapa orang ulama lainnya untuk melarang perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran islam tersebut. Faqih Shagir bersama Tuanku Nan Renceh ketika itu sedang menuntut ilmu kepada Tuanku Nan Tuo di masjid Koto Lawas, tempat ayahnya itu mengajar. Ia mengakui sangat menyenangi Ilmu Fiqh, sehingga dalam usia muda ia sudah ahli, sehingga orang memanggilkannya ahli memahamkan fiqh. Ketika inilah ia digelari orang dengan Faqih Shagir. Ia telah aktif mengajarkan fiqh kepada putra Minangkabau yang datang belajar kepadanya. Ilmu Fiqh waktu itu merupakan ilmu yang sangat digemari untuk mempelajarinya. Faqih Shagir juga menceritakan tentang sahabatnya, Tuanku Nan Renceh yang kembali ke kampung di Kamang. Orang kampung dilarangnya untuk berbuat maksiat seperti meminum tuak. Ia disokong seorang ulama lain bernama Tuanku Menanti Malin, yang terkenal sangat berani. Keduanya juga menyuruh orang untuk taat melaksanakan shalat lima waktu. Akibatnya timbul perselisihan, perbantahan, bahkan perkelahian. Tetapi, kesrusuhan itu tidak menggunakan senjata tajam. Kelihatan di sini, bahwa Tuanku Nan Renceh pada mulanya bukanlah tipe orang yang radikal. Sementara Faqih Shagir sendiri mencoba menggalang orang untuk shalat berjemaah dan supaya taat untuk membayar zakat kepada fakir miskin, serta peringatan Mawlid Nabi SAW. Zakat ketika itu --belum banyak dibayar orang— tidak dibagi-bagikan kepada fakir miskin, tetapi dihimpun pada suatu tempat untuk digunakan secara bersama saat diperlukan. Sejak mudanya, Faqih Shagir telah aktif mengajar dan membina masyarakat agar menjadi orang taat. Selain aktif berdakwah melarang orang berbuat maksiat di lapangan, ia juga menggiatkan shalat berjemaah di Masjid Koto Lawas. Ia menyebutkan selama 4 tahun, jemaah shalat hanya berjumlah 12 orang saja. Baru meningkat jumlahnya sekitar 40 orang, 4 tahun kemudian, ketika Haji Miskin pulang dari Makkah dan ikut memberikan dorongan. Haji Miskin sepulang dari Makkah menetap beberapa lama di kampung Batu Tebal, tetangga Koto Lawas. Sebelum ke Makkah, Miskin tinggal di Batu Tebal karena menuntut ilmu agama kepada Tuanku Nan Tuo di Masjid Koto Tuo yang dipimpinnya sekitar tahun 1784. Sebelum pergi naik haji, sebetulnya Miskin juga telah membantu gurunya itu dalam menumpas penyimpangan agama atau istilah Martin dalam kebangkinan lokal. Bahkan dia selama 4 tahun menjadikan tempat tinggalnya sebagai tempat tobat. Sepulang dari Makkah, beberapa lama ia menyokong Faqih Shagir dalam meramaikan masjid, kemudian Haji Miskin pulang ke kampungnya di Pandai Sikat untuk aktif membina masyarakat. Dia mencoba berbuat secara konkrit untuk melarang segala pekerjaan yang haram dalam agama Islam dengan bantuan cukup kuat, antara lain dari Datuk Batuah. Ia membina masyarakat di sana selama 9 tahun qamariah. Karena ia mendapat tantangan dari beberapa tokoh adat, bahkan terkesan membandel, Haji Miskin merasa jengkel, sehingga suatu ketika disuruhnya orang untuk membakar Balai Adat. Halaman Balai Adat itu dijadikan orang sebagai gelanggang untuk menyabung ayam. Akibat perbuatannya itu, Haji Miskin dibenci sekaligus diburu pemuka adat. Karenanya, ia menyelamatkan diri pergi ke nagari Air Terbit, Luhak 50 Koto yang jaraknya sekitar 60 km dari Pandai Sikat. Dia tinggal di masjid Sungai Landai. Haji Miskin memilih Air Terbit, karena ada temannya sesama pulang dari Makkah bernama Haji Piobang atau Haji Abdul Rahman. Di sana ia kembali aktif membina masyarakat dan menumpas kemaksiatan yang terjadi di tengah masyarakat. Di Airt Terbit kemudian ia juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak senang terhadap kegiatan dakwahnya. Ia memutuskan untuk pindah ke Kamang dalam Luhak Agam. Di nagari tersebut ia mendapat respon cukup bagus dari seorang ulama yang cukup berani dan baru pulang dari menunut ilmu, yaitu Tuanku Nan Renceh. Akan halnya Haji Miskin, tidak dapat diketahui bagaimana perjuangan selanjutnya. Keturunan Haji Miskin di Pandai Sikat meyakini ia meninggal dan dikuburkan di Taram 50 Kota sehingga hampir tiap tahun mereka melakukan zaiarah ke kuburan tersebut. Namun, atas inisitatif Wali Nagari terakhir Pandai Sikat, Kapten (Purn) Sayuti Kamaluddin Dt. Palimo nan Barantai Sati, sekitar tahun 80-a, membangun sebuah makam di Pandai Sikat. Tetapi, kuburan tersebut tidak memberikan keyakinan kapada kita, bahwa itu makam Haji Miskin, karena; pertama, tidak ada kuburan orang Minang, apalagi seorang tokoh pahlawan yang terletak sendiri saja, kedua, pembangunan kuburan tersebut tidak dilatari kajian sejarah mendalam. Faqih Shagir bukan hanya seorang guru, tetapi adalah seorang pendakwah yang gigih. Ia mempunyai cita-cita untuk menjadikan masyarakat penjadi penganut Islam yang taat. Ia berkeliling pula untuk menegakkan syiar Islam dari kampung ke kampung dan nagari ke nagari dalam wilayah Ampat Angkat. Tetapi masyarakat tidak kunjung berhenti melakukan perbuatan maksiat, bahkan pada tempat-tempat tertentu semakin bertambah-tambah. Di Balai Bahari dalam nagari Ampang Gadang selalu diramaikan orang kegiatan menyabung ayam, bahkan kegiatan itu diadakan sebagai untuk memancing emosi lawan, termasuk para ulama. Faqih Shagir bersama Tuanku Nan Tuo dan para ulama lainnya turun melarang kegiatan tersebut. Para ulama tersebut mendapatkan bantahan dan perlawanan sengit. Dalam waktu singkat datang beribu-ribu orang massa untuk menghalangi tindakan ulama, sehingga terjadi perkelahian massal. Massa yang banyak itu mengamuk dan meruntuhkan masjid Batu Tebal dan madrasah Faqih Shagir serta merampas kitab-kitab yang ada dalam lembaga tersebut. Peristiwa itu cukup lama menjadi gunjingan ditengah masyarakat. Sebagian mengatakan, masyarakat yang mengamuk itu sebagai orang-orang munafik. Sebagian yang lain menilai, mungkin ada perkataan dan hati Faqih Shagir yang takabbur dan menyakiti hati mereka. Kalau memang ada, Faqih Shagir segera mohon keampunan Allah SWT. Kakek Muhammad Thahir ini dulunya adalah pengikut dan guru tarekat Syattariyah. Ia murid dan khalifah Syaikh Tuanku Nan Tuo. Pada usia tuanya, ia pindah menjadi pengikut dan guru tarekat Naqsyabandiyah. Pada tahun 1860-an, pamornya sebagai guru utama tarekat Naqsyabandiyah menjadi naik di Luhak Nan Tiga. Martin memperkirakan, Jalal Al-Din yang ketika itu bergelar Tuanku Sami’ memperoleh tarekat dari seorang ulama yang pulang dari Makah, Syaikh Tuanku Barulak bernama Muhammad Thahir. Ia adalah murid Syaikh Ismail Simabur Al-Minangkabawi. Atau ia menerima tarekat dari ulama yang pulang dari Singapura setelah belajar dengan Ismail Al-Minangkabawi itu ketika ia pulang ke Nusantara dan untuk beberapa tahun menetap dan mengajar di Singapura pada tahun 1850. Syaikh Tuanku Barulak meninggal pertengahan tahun 1860-an. Pengaruhnya cukup besar. Surau-surau tarekat telah menjadi pusat Naqsyabandiyah. Penyebaran tarekat itu melewati batas Luhak Agam sampai ke Silungkang, Singkarak dan Bonjol. Syaikh Jalal Al-Din Tuanku Sami’ adalah salah seorang guru tarekat Naqsyabandiyah pertama dan paling utama. Ia kemudian terpaksa berhadapan dengan ulama-ulama penganut tarekat Syattariyah. Akibatnya mulai muncul penganut tarekat dalam dua aliran; Aliran Naqsyabandiyah dan Aliran Syattariyah. Beberapa waktu kemudian muncul istilah Agama Caingking dan Golongan Haji sebagai lawan Agama Ulakan. Setelah Tuanku Sami’ meninggal dunia, Syaikh Naqsyabandiyah paling terkemuka adalah Syaikh Kumpulan, dekat Bonjol yang nama aslinya ‘Abd Al-Wahhab gelar Syaikh Ibrahim bin Pahad. Kemana saja ia pergi selalu dikerumini orang. Pada hari tuanya, meskipun tidak mengajar lagi, ia dibawa orang dengan tandu untuk membantu jalannya yang sudah tidak kuat sekaligus untuk menghormatinya Ulama ini berumur panjang, meninggal 1915. Syaikh Jalal Al-Din Tuanku Sami’ menuntut tarekat Naqsyabandiyah dari Muhammad Thahir Tuanku Barulak lebih bisa diterima, sehingga –untuk menghormati gurunya-- cucunya diberi nama pula dengan Muhammad Thahir. Cucunya kelak memakai Jalal Al-Din pula di ujung namanya sebagai tanda hormat kepada kakeknya yang terkenal tersebut. Tentang istilah “Golongan Haji”, diberikan masyarakat untuk membedakan dengan kelompok Ulakan yang tidak mementingkan menunaikan ibadah haji ke Makkah. Jadi, kakek Syaikh Muhammad Thahir Jalal Al-Din adalah seorang intelektual bidang agama Islam yang sangat menonjol pada zamannya. Ia seorang yang rajin dan mewarisi ilmu ayahnya Tuanku Nan Tuo, baik dalam Ilmu Fiqh maupun tarekat. Ia berhasil mengangkatkan Ilmu Fiqh ke tangga yang sangat digemari dibandingkan masa sebelumnya yang kurang diminati, terutama di kalangan penganut sufi tarekat Syattariyah. Dia juga sangat aktif turun ke tengah masyarakat untuk berdakwah; menyuruh orang untuk berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar. Dalam segala aktivitasnya tersebut, banyak tantangan yang dialaminya. Dalam perjuangannya, ia merasakan pahit dan getir, apalagi ketika surau ayahnya diruntuhkan dan madrasahnya diruntuh dan diobrak abrik serta seluruh kitabnya dirampas dan dibuang. Tuanku Kubu Sanang juga merasa sedih atas peristiwa yang menyakitkan tersebut. Ia berhiba hati melihat kelakuan masyarakat. Meski begitu, Jalal Al-Din tetap optimis bahwa dakwahnya kelak juga akan berhasil. Kepada Tuanku Sanang dikatakannya supaya jangan terlalu sedih. Dikatakannya, “sebelum datar semua bukit ini, insya Allah agama ini akan tetap tegak”. Dia berjanji akan tetap berupaya kiri dan kanan untuk membangun kembali masjid dan madrasah yang diruntuhkan orang. Tokoh ini juga seorang pemberani untuk melawan musuh. Ketika terjadi gelanggang judi dan menyabung ayam di Bukit Batabuh, ia bersama Tuanku Nan Tuo menghimpun ulama untuk menghentikan kegiatan maksiat tersebut. Ketika pertemuan itu berlangsung, datang para Hulubalang membawa setenggar hendak menyerang. Para ulama merasa ketakutan dan lari menyelamatkan diri. Yang tinggal hanya 6 orang. Satu di antaranya adalah Jalal Al-Din. Ia melihat apa yang dilakukan Hulubalang itu sudah keterlaluan. Ia melihat perlakuan tersebut mesti dibalas untuk mempertahankan rasa malu, yang bisa menjadi buah bibir sampai anak cucuk kelak. Kali ini, ia harus bertindak keras sekaligus untuk membalas kelakuan mereka meruntuh masjid dan madrasah beberapa waktu sebelumnya. Dia mengaku, berdasarkan gerak dari Allah, ia memasang setenggar dan menyerang Hulubelang tersebut, sehingga mengalami luka parah dan akhirnya meninggal dunia. Seorang lagi, di antara mereka mengalami kematian karena dipotong orang yang mendukung gerakan ulama. Tuank Nan Tuo Bila ditelusuri lebih ke atas lagi, ayah Faqih Shagir, kakek ayah Syaikh Muhammad Thahir Jalal Al-Din yang bernama ‘Alam Al-Din bergelar Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo Ampat Angkat, maka semakin kentara bahwa tokoh yang dibahas ini adalah seorang yang keturunan ulama-ulama besar sejak masa yang cukup lama. Tuanku Nan Tuo hidup antara tahun 1136-1239 H/1723-1824 M. Dia merupakan seorang ulama paling lengkap ilmu pengetahuannya tentang Islam. Selain mendalami tarekat, ia juga belajar Hadis, Tafsir, dan Fiqh serta Ilmu Alat dalam bahasa Arab. ‘Alam Al-Din Tuanku Nan Tuo menuntut ilmu dari Tuanku Kamang, Tuanku Sumanik, Tuanku Kaciak Koto Gadang, dan kepada Tuanku Mansiangan Nan Tuo, bahkan kepada Tuanku Kapeh-kapeh Paninjauan, yang guru dari gurunya, Tuanku Mansiangan Nan Tuo. Karena itu, Tuanku Nan Tuo Koto Tuo menjadi seorang ulama yang sangat ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam. Dalam sejarah Islam di Minangkabau, terutama dalam masa Gerakan dan Perang Paderi, peranan Tuanku Nan Tuo cukup besar. Ia seorang ulama yang tidak mau berbuat gegabah seperti tindakan radikal yang dilakukan 3 orang haji yang baru pulang dari Makkah; Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang serta Tuanku Nan Renceh –muridnya-- bersama kawan-kawan lain dalam kelompok keras Harimau Nan Salapan. Haji Sumanik juga disebut dengan Tuanku Lintau, sebab dalam Perang Paderi ia menetap di nagari Lintau, masih dalam Luhak Datar. Ia meninggal tahun 1833 di nagari Palalawan, ketika melarikan diri dan berniat hendak kembali Makkah. Karena Tuanku Nan Tuo Ampek Angkek seorang yang bertindak persuasif, ia menolak tawaran Tuanku Nan Renceh untuk memerangi orang-orang yang suka berjudi, menyabung ayam, meminum minuman keras dan lain-lain perbuatan menyimpang dari agama Islam. Menurut dia, selagi ada orang beriman dalam satu kampung, maka kampung itu tidak boleh diperangi. Prinsip ini bukan hanya sekedar keyakinan yang dimilikinya, tetapi juga sebagai tindakan taktis-strategis dalam menjalankan dakwah dan politik demi menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat banyak. Ia melihat, waktu melakukan kekerasan ketika itu tidak tepat, sebab akan mengundang kompeni Belanda untuk memasuki wilayah pedalaman Minangkabau, yang memang sudah lama mengintai kesempatan dari tempatnya berdagang di pelabuhan Muara Padang. Gurunya yang paling utama adalah Tuanku Pamansiangan Nan Tuo, anak dan murid Tuanku Kapeh-kapeh Paninjauan. Gurunya itu ahli dan khalifah tarekat Syattariyah terkenal dan melahirkan banyak murid di Minangkabau. Di antara muridnya pula adalah Tuanku Koto Tuo di Ampat Koto Agam. Bahkan, Tuanku Koto Tuo Ampat Angkat yang sedang dibicarakan ini juga sempat belajar dengan Tuanku Kapeh-kapeh Paninjauan yang murid langsung Syaikh Burhanuddin Ulakan. Menurut Azyumardi, Tuanku Nan Tuo Koto Tuo adalah ulama yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan kembali pembaruan di Minangkabau. Ia yang ahli syari’at dan tasauf menjadi ulama sangat masyhur. Atas keahliannya itu, ia digelari pula dengan Sultan ‘Alim Awliya’ Allah, yang menjadi pemimpin seluruh ulama Minangkabau yang termasuk golongan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah. Tuanku Nan Tuo mencurahkan perhatiannya untuk pembaruan masyarakat. Ia menjelaskan tentang perbedaan antara halal dengan haram dan perbedaan antara muslim dengan kafir. Di mana-mana ia selalu mengingatkan pentingnya jalan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah dengan mendasarkan kehidupan kepada Al-Quran dan Hadis. Kegagalan cara hidup seperti pola itu, bisa mengakibatkan ketidakamanan dan kekacauan sosial. Karena itu, bersama para ulama lain dan juga anaknya Jalal Al-Din Faqih Shagir, ia sangat aktif turun ke lapangan menertibkan masyarakat supaya berperilaku sesuai dengan petunjuk agama. Meskipun ia mendapat tantangan, bahkan suraunya dibakar atau diruntuhkan, namun akhirnya Tuanku Nan Tuo –kadang-kadang ia juga mengancam lawannya-- berhasil menciptakan kemanan di wilayahnya. Keamanan dan kedamaian dapat tercipta, sehingga perdagangan dapat berjalan kembali. Dia yang juga pedagang ulet, akhirnya menjadi tempat berlindung para pedagang. Tuanku Nan Tuo dalam perannya sebagai guru yang baik berhasil melahirkan murid-murid yang militan. Dia juga berhasil mendidik cucunya, Muhammad menjadi seorang ulama, yang nantinya digelari orang Tuanku Cangking. Cucunya itu mewarisi Ilmu Fiqh. Salah seorang murid lainnya adalah Batuk Bendahara dari Pasaman. Ketika Tuanku Nan Tuo berdebat dengan Tuanku Nan Renceh bagaimana mengatasi perilaku masyarakat yang telah rusak, ia ikut mendengarkannya. Bendahara ini akhirnya berbeda paham dengan gurunya dalam soal memberantas maksiat. Ia berpihak kepada H. Miskin dan Tuanku Nan Renceh. Ke mana H. Miskin, Bendahara sering pergi mengiringinya. Di sampingnya, juga ada seorang pemuda bernama Peto Syarif. Pemuda ini nantinya menjadi seorang Imam dan Panglima Perang di Bonjol. Dia adalah Tuanku Imam Bonjol. Jadi, Tuanku Imam Bonjol juga murid Tuanku Nan Tuo dan Datuk Bendahara. Tuanku Nan Tuo sejak awalnya memang mengkhawatirkan akan hegemoni Belanda di pedalaman Minangkabau. Sikap itu yang mendorongnya untuk melarang Tuanku Nan Renceh, muridnya untuk menjalankan dakwah dengan kekerasan. Ia lebih bersifat persuasif. Meskipun di hari-hari tuanya ia bersekutu dengan kolonial, namun hal itu lebih disebabkan karena tidak ada pilihan lain. Umat Islam Minangkabau waktu telah terbelah dua; satu pihak ke Paderi dan pihak lain kepada Belanda. Tuanku Nan Tuo tetap konsisten bahwa ia tidak setuju dengan cara-cara Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawannya dalam menumpas perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Ketika Belanda telah menguasai sepenuhnya Tanah Datar sampai ke pinggir Danau Singkarak, Belanda mengalihkan sasarannya ke wilayah Agam. Ampat Angkat yang selama ini menjadi basis Paderi akan diserang. Tetapi, Tuanku Nan Tuo bertindak arif. Sebelum Belanda datang, Tuanku telah berhasil menggalang perserikatan nagari Candung sampai Sungat Tarab yang dimaksudkan untuk melawan kelompok Kamang, Pandai Sikat dan Koto Lawas. Ini juga merupakan tindakan taktis Tuanku Nan Tuo, sehingga Agam sebelum tahun 1824 tersebut tidak jadi diobrak-obrik Belanda. Dalam soal ekonomi, Tuanku Nan Tuo juga ikut melakukan perdagangan, bahkan dikenal ulet. Dia menjadi pelindung pedagang lainnya yang dirugikan Belanda. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1824.

Demikianlah latar belakang keluarga Syaikh Muhammad Thahir Jalal Al-Din. Mulai dari ayahnya sampai kakek dan ayah kakeknya merupakan tokoh-tokoh penting yang memainkan peranan besar di Minangkabau. Semuanya berkualitas ulama yang gigih mengembalikan umat ke jalan yang lurus berdasarkan agama Islam, pejabat, serta –jangan lupa— ulama pimpinan tarekat yang melakukan pembaharuan dengan memasukkan lebih banyak unsur syari’at ke dalam dunia tasauf.(Ditulis oleh DR. Mafri Amir,MA, Dosen UIN Jakarta-08-11-11)

Thanks! Dohn joe (talk) 21:26, 8 December 2011 (UTC)[reply]